Hari ini, Rabu 10 Oktober 2018. Aku mendapat
kabar bahwa lomba MAPSI (Mata Pelajaran Agama dan Seni Islami) tingkat kota
Surakarta akan dilaksanakan.
Kabar ini seakan memflashback ingatanku empat tahun yang lalu.
Empat tahun yang lalu, sekitar bulan Agustus
2014, seorang guru mata pelajaran Qur’an
Hadis mengirim sms. Beliau meminta anakku diizinkan mengikuti ekstrakurikuler
kaligrafi. Aku bimbang. Kaligrafi hal
baru bagiku, juga anakku. Aku hanya mengenal tarian. Sejak kecil aku menari.
Dan seandainya aku tidak jatuh cinta pada hal yang berbau eksakta, aku mungkin akan
menjadi seorang penari. Hal itu pulalah yang membuatku mendaftarkannya di ekstrakurikuler menari dan
melukis sejak TK.
“Saya lihat anak Ibu berbakat, jadi
sayang kalau tidak mendapat pembinaan,”
ujar Pak Guru Quran Hadis berusaha meyakinkan. Aku pun akhirnya mengizinkan anakku untuk
belajar. Ia belajar mulai dari awal dari
seorang Guru Quran lainnya. Dari situ
aku baru tahu, bahwa menggoreskan huruf-huruf
hijaiyah itu ada aturannya. Dan itu dinamakan kaidah. Di sinilah letak penilaian sebuah kaligrafi.
Setelah beberapa minggu melatih huruf
demi huruf, anakku mulai bisa menulis sebuah kalimat. Sesudahnya,
tulisan itu dituangkannya di atas kanvas. Hingga hari H tiba. Hari di mana anakku dan
teman-temannya berangkat bersama guru-guru Pembina ke sebuah SD. Mereka mewakili sekolahnya mengikuti lomba di
tingkat kecamatan. Di sana akan dilombakan berbagai macam lomba seperti rebana,
tilawah, kitobah, cerdas cermat, dan tentu saja kaligrafi.
Saat itu aku cemas. Anakku baru berusia
delapan tahun, dan belum pernah berurusan dengan kanvas dan cat. Selama ini
pegangannya adalah crayon. Hatiku tidak tenang. Saat ia mengikuti lomba
menggambar, biasanya aku ada di sampingnya. Dan itu jamak untuk lomba
menggambar. Setiap orangtua, pasti
mendampingi saat anaknya mengikuti lomba mewarnai atau menggambar.
Saat aku menyusulnya, aku hanya bisa takjub.
Tampak di dalam kelas, di bangku paling
belakang, anakku mengerjakan lukisannya dengan begitu tenang. Tak peduli di
sana, ada sang juara lukis dengan ratusan piala. Kerjakan dan selesaikan.
Prinsip yang bahkan tidak pernah aku ajarkan. Ibu belajar darimu, Nak.
Empat jam pun berlalu. Anakku berkemas, lalu keluar. Ia membasuh tangannya yang belepotan cat. Ia lalu makan jatah snacknya dengan lahap.
“Bisa?”
tanyaku.
Ia
tersenyum, lalu mengangguk. Aku menarik napas lega.
“Good
job,” ujarku. Ia lalu menghabiskan nasi kotaknya
Alhamdulillah. Telah kauselesaikan tugasmu dengan baik, Nak. Urusan kalah menang, biarlah Allah yang mengatur. (bersambung)
Alhamdulillah. Telah kauselesaikan tugasmu dengan baik, Nak. Urusan kalah menang, biarlah Allah yang mengatur. (bersambung)
NB: Saat itu peserta lomba MAPSI bidang
kaligrafi mengikuti dua macam lomba yaitu lomba Khat yaitu menulis indah isi
sebuah surat di Al-Quran dalam selembar kertas karton, dan lomba menulis
kaligrafis dengan menggunakan cat air di atas kanvas. Waktu lomba 5 jam.
(Sebagai catatan, lomba mewarnai dan
menggambar lainnya biasanya memakan waktu antara 1 sampai 3 jam).
sumber gambar: pixabay
sumber gambar: pixabay
4 komentar
Wah hebat, gpp mbak kalau punya bakat diteruskan saja, selain mendapat ilmu dan pengalaman baru, nantinya bisa melanjutkan sekolah melalui jalur prestasi. Barokallah
BalasHapusIya betul. Waktu daftar sekolah kemarin pakai fotokopi sertifikat juara lomba
Hapuswah hebat mba anaknya, semoga hasilnya memuaskan ya. Senang banget pasti bisa ikut lomba, yang penting anak pede ya mba. hihi.
BalasHapussy juga dulu zaman SD pernah menang lomba kaligrafi tingkat antar masjid seko TAnjungpinang, pas masuk MTS baka trk tersalurkanm sekolah kami jarang ikut acara lomba, jadi ya gitu deh hanya tingal kenanagan saja :-)
BalasHapus